ROMANTISISME :  JEAN JACQUES ROUSSEAU


Oleh: Fahmi Riza Afriandi – Komisariat FEB UMY

Romantisisme adalah reaksi atau respon terhadap zaman Renaissance, karena cara pandang Eropa yang sangat kuat pada akal. Pada masanya, romantisisme merupakan fenomena kota. Tokoh-tokoh romantik adalah para pemuda, biasanya mahasiswa universitas yang cenderung malas, karena lahirnya gelombang intelektual positivistic hanya membuat manusia merasa jenuh.

Menurut orang romantisisme, hidup yang produktif dan kreatif bukan hidup yang berbasis akal tetapi jadilah seperti seniman, karena aktivitas seniman itu bermain-main dan manusia hanya bisa bebas saat mereka bermain untuk menciptakan aturannya sendiri. Dengan begitu manusia bisa penuh untuk merealisasikan eksistensinya hanya ketika mereka bermain main.

Kaum romantik percaya bahwa hanya seni yang dapat membawa kita semakin dekat pada ‘yang tak terungkapkan‘. Filsafat yang rasional membuat hidup kering karena hanya menjangkau segala sesuatu yang bisa tertangkang indra, karena banyak dari sisi kehidupan yang tidak dapat dijangkau akal seperti kerinduan, kesendirian, kesepian, dst.

Banyak tokoh Romantik salah satunya adalah Jean Jacques Rousseau, lahir di Perancis pada tangga 28 Juni 1712 dan wafat 2 Juli 1778. Rousseau lahir dari keluarga broken home, bapaknya berprofesi sebagai tukang service jam disebuah pasar dan ibunya meninggal ketika melahirkan Rousseau. Dia tinggal hanya bersama dengan bapaknya, karena semua sodaranya merasa tidak tahan dengan kelakuan bapaknya yang sering melakukan tindak kekerasan. Rousseau terkenal dengan slogannya “for us, to exist is to feel”. Sejak kecil bakat menulis Rousseau sudah terlihat, tulisannya sering memenangkan perlombaan dari mulai karya ilmiah, novel, puisi, dst.

Pemikiran Rousseau mampu mempengaruhi zaman modern bahkan sampai pasca modern, dalam tulisan ini akan sedikit mengupas pemikirannya. 

Kritik Rousseau terhadap Manusia Modern

Menurutnya manusia modern adalah manusia rasional, manusia rasional pasti positivistic dan manusia positivistic hanya mempercayai segala sesuatu yang bisa diobservasi secara empiris dengan pancaindera. Faktor-faktor non-materiil berupa perasaan dan emosi mengalami pengikisan yang berakibat manusia seolah-olah hanya bergerak menurut rasionya saja.

Abad Pencerahan adalah abad pesimisme total. Pemikir-pemikir pencerahan, perkembangan teknologi dan sains menyebabkan dekadensi moral dan budaya. Akibatnya, manusia menjadi rakus dan tamak sehingga terjadi kerusakan dan penghancuran besar-besaran bagi keberlangsungan manusia , baik itu alam maupun manusianya sendiri.

Oleh sebab itu manusia harus kembali pada segala kehidupan yang alamiah,, kehidupan penuh emosi dan perasaan untuk menghidari dari kehancuran total. Manusia tidak lagi merasa dirinya sebagai subjek dan alam sebagai objeknya, sehingga tidak ada lagi yang mengeksploitasi dan tereksploitasi.
Nalar manusia Modern

Transisi dari supernaturalisme ke deisme/sekulerisme/atheisme/materialisme

Sebelum era modern manusia berada di era tengah, semua orang masih banyak membincarakan spiritualitas. Setelah Renaissance, terjadilah pergeseran nalar menjadi Deisme, manusia percaya dengan Tuhan dan agama, tetapi alam semesta mempunyai hukum dan aturan sendiri. Tuhan diibaratkan seperti orang yang menciptakan jam, jam akan berhenti pada saatnya jika daya energy telah habis tanpa ada intervensi pembuatnya. Kemudian melahirkan sekulerisme, manusia percaya dengan Tuhan dan Agama, tetapi terpisahkan dengan urusan dunia. Banyak dari manusia modern yang menjadi Atheisme, sama sekali tidak percaya dengan adanya Tuhan karena pandangan mereka yang materialisme. 
Nalar modern juga melahirkan: 

Determinisme, keyakinan filosofis bahwa semua peristiwa terjadi sebagai akibat dari adanya beberapa keharusan dan karenanya tak terelakkan.

Saintisme, keyakinan  bahwa sains adalah cara pandang dunia yang paling otoritatif atau paling berharga hingga menyingkirkan cara pandang lainnya.

Positivisme, cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sesuatu yang dapat ditangkap panca indra

Rasionalitas Instrumental, akal hanya digunakan sebagai alat untuk kepentingan manusia. Menjadikan manusia seperti robot, akal sebagai sotware dan fisik sebagai hardwarenya.
Kodrat Asali Manusia menurut Rousseau

Dalam keadaan asali, manusia hidup damai dan tak dihalangi oleh konvensi-konvensi yang sesat. Hakikat manusia sebenarnya adalah baik, sehingga untuk menyelesaikan segala masalah maka manusia harus kembali kekodrat alamiahnya. Yang merusak manusia adalah masyarakat, karena didalam masyarakat terjadi transfer nilai ideologi yang membuat manusia menjadi ambisus.

Rousseau memberikan contoh pada masnyarakat primitive, pada zaman dulu manusia mengembara keluar masuk rimba, tanpa industri, tanpa bahasa, tanpa rumah, tanpa keinginan untuk menyakiti makhluk-makhluk lain, dan berkedudukan sama di antara mereka.

Pada dasarnya manusia tidak berhasrat pada kekuasaan (power) dan tidak khawatir (siaga) akan kompetisi dalam pemenuhan kebutuhannya untuk hari esok.
Sejarah perkembangan masyarakat

Pertama, manusia secara alami adalah hidup damai tetapi manusia mempunyai akal, sehingga ingin selalu meningkatkan kemampuannya. Terlebih didukung dengan kebebasan yang dimilikinya. Perkembangan itu pada akhirnya akan menghasilkan kerjasama, berbagai kemudahan dan “waktu-senggang” (leisure time).

Kedua, karena adanya waktu senggang dan ada waktu untuk berkreatifitas, kemudiam muncul gagasan-gagasan untuk menciptakan barang/jasa “mewah” (luxury), yang pada satu sisi lebih menitik-beratkan “selera” (taste) ketimbang fungsi, menurut Karl Marx melahirkan kesdaran palsu dan di sisi lain juga telah melahirkan apa yang disebut Rousseau sebagai corrupted needs (“kebutuhan bobrok”), karena lewat corrupted needs itu telah tercipta hasrat pada kekuasaan (power) untuk diperbandingkan antara satu sama lain, yang justru melahirkan kompetisi dan potensi perang.

Ketiga, ketika ada pembalikan logika seperti itu, maka akan dimanfaatkan oleh kelompok dominator, yaitu manusia yang mempunyai kuasa atas masyarakat agar pengaruhnya tidak hilang dan status quo bisa terjaga.
(Yogyakarta, 29 Maret 2017, pada siang yang mendung)

Tinggalkan komentar